Sejarah Penyakit kusta, atau lepra, telah menjadi bagian kelam dalam sejarah kesehatan di Indonesia selama berabad-abad. Bukan hanya karena dampaknya yang mengerikan pada fisik penderitanya, tetapi juga karena stigma sosial yang mendalam dan pengucilan yang menyertainya. Memahami sejarah penyakit kusta terbesar di Indonesia penting untuk menghargai kemajuan pengobatan dan terus berupaya menghilangkan diskriminasi terhadap para penyintas.
Jejak kusta di Nusantara bahkan tercatat dalam naskah-naskah kuno, menunjukkan bahwa penyakit ini telah lama hadir di kepulauan ini. Pada masa kolonial Hindia Belanda, kusta menjadi masalah kesehatan masyarakat yang signifikan. Pemerintah kolonial mendirikan leprozerie atau tempat pengasingan penderita kusta, seperti yang ada di Kepulauan Seribu, sebagai upaya untuk mengendalikan penyebaran penyakit yang kala itu sangat ditakuti.
Stigma terhadap penderita kusta sangat kuat, didorong oleh kurangnya pemahaman tentang cara penularan dan pengobatan penyakit ini. Mereka seringkali dikucilkan dari keluarga dan masyarakat, dipaksa hidup terpisah di koloni-koloni kusta seumur hidup. Pulau Purmerend (kini Pulau Bidadari) di Jakarta menjadi saksi bisu pengasingan ribuan penderita kusta pada masa itu.
Memasuki era kemerdekaan, penanganan kusta mulai mengalami perubahan. Tokoh seperti Dr. Sitanala mempelopori perubahan sistem pengobatan dari isolasi paksa menjadi rawat jalan, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang menunjukkan bahwa kusta tidak semudah itu menular dan dapat diobati.
Puncak kasus kusta di Indonesia diperkirakan terjadi pada masa Orde Baru, dengan jumlah penderita mencapai ratusan ribu. Baru pada tahun 1980-an, dengan diperkenalkannya Multi Drug Therapy (MDT) oleh WHO, pengobatan kusta menjadi lebih efektif dan harapan kesembuhan meningkat pesat.
Meskipun pengobatan kusta telah mengalami kemajuan signifikan, stigma dan diskriminasi terhadap penderitanya masih menjadi tantangan besar hingga kini. Padahal, kusta adalah penyakit yang dapat disembuhkan dengan pengobatan yang tepat, terutama jika terdeteksi dini.
Mengenang sejarah kelam kusta di Indonesia seharusnya menjadi pelajaran berharga untuk terus meningkatkan kesadaran masyarakat, menghilangkan stigma, dan memastikan akses pengobatan yang merata bagi semua penderita. Dengan memahami masa lalu, kita dapat membangun masa depan yang lebih inklusif dan bebas dari diskriminasi bagi para penyintas kusta.